Bunga itu Bernama Cinta


Sama dengan anak muda pada umumnya, aku juga mengalami apa yang dinamakan jatuh cinta. Namaku Rafael Archangel Zeus, kalian dapat memanggilku Zeus. Aku tidak terbiasa untuk jatuh cinta dengan serius, karena sudah beberapa kali aku jatuh cinta dan tidak ada getaran yang menjentikkan hatiku untuk berhubungan dengan lebih serius. Semua tahap anak-anak sudah kujalani. Waktu terus berputar dan melaju, tidak pernah dia menoleh ke belakang, terlebih untuk berjalan mundur. Kini aku sudah beranjak dewasa dengan segala kelemahan dan kelebihanku. Besok adalah hari pertamaku untuk memasuki kelas senior dan bersiap untuk lulus dari sekolahku yang sudah aku timba ilmunya selama 3 tahun terakhir ini. Di sini pulalah aku dapat menemukan apa yang dinamakan dengan cinta.


Pagi yang cerah menyambut hariku untuk memulai kisahku hari ini. Berbeda dari sebelumnya, aku tidak pernah merasakan hal-hal ini sebelumnya. Aku merasakan getaran yang berbeda saat mengingat namanya. Seakan musim dingin datang lebih awal dan  menyejukkan hatiku. Entah mengapa aku  merasakan seperti ini, hatinya membekukan hatiku dan seakan tidak ada hawa panas di sekitarnya yang dapat mencairkannya kembali. Diriku sudah didapatkannya. Yes, She got me.

Memasuki gerbang sekolah, aku bertemu dengan sahabatku yang sedang duduk menyantap sarapan paginya. Dian memang begitu, dia tidak pernah sarapan dari rumah ketika hendak pergi ke sekolah. Berbeda dengan aku yang selalu sarapan dari rumah dan membawa bekal untuk disantap saat istirahat. Maklum, ayah Dian adalah seorang jendral. Aku bersyukur memiliki teman sepertinya. Bukan karena materinya, namun karena kesetiaannya sejak keci untuk berteman denganku. “Hai!” tegurku membuyarkan  lamunannya. Dia menoleh ke arahku, melihat aku melambaikan tangan, sehingga dengan segera dia membalas lambaian tanganku. “Sini Zeus! Udah makan belum?” tanyanya kepadaku yang hendak mendekatinya. “Kau masih butuh jawabanku?” tanyaku sambil mengambil bangku  yang ditawarkan tukang bubur itu. “Siapa tau gitu kamu  lupa sarapan” ujarnya sambil tertawa. “Ngga mungkin lah aku lupa sarapan. Aku kan doyan makan, tapi karena naga di perutku ini semakin besar, aku jadi tidak bisa tumbuh besar” candaku yang memecahkan suasana. Aku dan Dian memang suka bercanda. Mungkin karena dilahirkan di tahun yang sama, di tanggal yang sama namun pada bulan yang berbeda, kami mempunyai sedikit persamaan. Bisa saja karena dari sejak kecil kami selalu bersama sehingga semua terasa nyaman.

“ZEUS!” suara itu membuyarkan candaanku dengan Dian. Suara Virgo memanglah sangat menggelegar. Mungkin karena dia kapten basket tim putri di sekolahku. Tidak sekedar teman, namun kami mempunyai hubungan khusus. Sebagai kekasih, yang saling menemani hampir selama 2 tahun dan sebagai partner, saat kami berada di lapangan. “Hei! Baru sampai?” tanyaku sambil merangkulnya. “Iya nih ze. Eh Dian! Apa kabar?” tanyanya kepada Dian dengan muka agak sinis. Begitulah Virgo, dia selalu meragukan hubunganku dengan Dian yang hanya sebatas sahabat. Muka air Dian berubah seketika saat mendapatkan paket muka sinis dari Virgo. “Virgo, masuk kelas yuk! Sudah mau bel. Dian, aku duluan yah!” aku mencoba mengalihkan pembicaraan mereka berdua. “Oke Zeus, sampai ketemu nanti. Bye Virgo” ujar Dian sambil menyendok bubur ayamnya yang hampir habis.

Sekolah Menengah Atas Perjuangan. Di tempat inilah aku mengabdi sejak 3 tahun  lalu. Tidak terasa, sebentar lagi aku ingin pergi meninggalkan semua kenangan ini. Terulang kembali memori-memori lamaku ketika aku sedang menjalani Masa Orientasi Siswa pada kelas 10, di mana aku dan teman-teman sahabatku dibully oleh kakak kelasku. Terbayang juga ketika aku sedang latihan baris-berbaris di lapangan basket, tempat di mana aku menunjukkan kebolehanku saat pulang sekolah. Aku adalah pemain basket senior di sekolah. Virgo, kekasihku juga pemain basket di sekolahku. Dian, sahabatku adalah ketua dari tim pemandu sorak ketika tim basket sekolahku ingin bertanding, baik putra maupun putri. Tidak terasa janggal apabila Virgo selalu cemburu ketika aku dan Dian berada berdekatan, karena ketika di setiap pertandingan, Virgo melihat bahwa Dianlah yang paling bersemangat untuk menyorakkan namaku. “Dian kan sahabatku Go, jadi kamu gak usah cemburu gitu dong”  rayuanku menyadarkan Virgo dari lamunannya. Aku tahu alasan Virgo merenung, dia memikirkanku. “Tapi sahabat gak sampe segitunya juga Ze”  ujarnya manja sambil menaruh kepalanya di bahuku. Tangan kecilnya mulai memegang tanganku dan membelainya. Lembut. “Kenapa sih kamu sama si Dian? Kami juga ga ngapa-ngapain kali. Kan aku cuma sayang sama kamu” aku tetap merayu dan merayu. Virgo adalah seorang yang aku kenal dengan sifatnya yang ego, kolot, dan susah untuk dirayu. Berbeda dengan yang pernah aku jalani sebelum aku memilih Virgo. Namun entah mengapa, aku merasa sangat nyaman berhubungan dengannya. “Bener yah kalian gak ngapa-ngapain?” katanya sambil menoleh ke arahku. “Bener dong sayang” jawabku sambil tersenyum dan menyubit kedua pipinya. Setelah bercanda dengannya, aku dan Virgo kembali menatap ke arah taman sekolah kami. Beginilah gaya kami berpacaran. Kami berbeda dengan pasangan pada umumnya yang berpacaran di dalam mall megah dan suka dengan candle light dinner. Aku dan Virgo dapat berpacaran di mana saja asalkan kami saling merasa nyaman.

Padang biru membentang menambah keinginan untuk lebih mendekap Virgo. Sinar matahari yang belum berani mengganggu aku dengan Virgo menambah dingin suasana. Pagi itu di beranda sekolah terasa dingin. Lebih dingin dari beberapa pagi yang sudah pernah kulewati. Lebih hening, lebih suci untuk dinodai. Ditambah dengan kicauan burung yang memperindah perawakannya. Angin berhembus, membangunkan rerumputan, menyadarkan dedaunan, melayangkan pikiran tentang aku dan dia. Kolam itu tumbuh bunga teratai yang sedang mekar. Elok sekali rupanya. Di tengah perbedaan, dia dapat tumbuh dengan baik dan elok rupanya. Sama dengan aku dan Virgo. Aku berusaha menjadi bunga teratai itu. Meski kadang sifatku, pendapatku berbeda dengannya, aku akan tetap berusaha menjadi mekar tanpa kuncup, tanpa layu, tanpa cela. Yah, bunga itu bernama cinta. 

Comments