Rahasia Sungai Rembrata

Seperti hari-hari yang sudah aku jalani bersama Zeus, sepulang sekolah kami kembali menuju ke tepi sungai Rembrata. Sungai Rembrata bersih, bermakna dan kebetulan berdekatan dengan rumah kami masing-masing. Tempat ini hening, indah, nyaman untuk mengaduh kisah kami berdua. Begitu nyamannya sehingga kekasihku dapat duduk diam di tempat ini. Selain tempat ini dan di kelas, Zeus tidak pernah bisa diam. Dia selalu bergerak kesana kemari. Pepohonan yang rindang dan harmoni alam menemani hari-hariku di tempat ini bersama Zeus, sosok yang aku sayangi. Aku sering duduk berdua dengan Zeus di bawah pohon apel yang besar itu. Sebuah karpet melebar sudah disediakan dari pengelola kebun ini. Sangat nyaman menurut kami, karena yang kami butuhkan hanyalah waktu yang cukup panjang untuk berdua di tempat ini. Sungai Rembrata adalah sungai yang berada di kaki Gunung Gorus sehingga sejauh mata memandang hanyalah panorama alam yang luar biasa.


“Virgo, menurutku tempat yang paling indah adalah di sini. Di tepi sungai ini” kata Zeus sambil memasukkan jari telunjuknya ke dalam air dan membuat pusaran air kecil. “Aku juga sangat menyukai tempat ini. Di sini romantis” gumamku manja ke dada Zeus. Zeus berdada lapang, mungkin karena hobinya berolahraga sehingga membuat dirinya mempunyai postur yang gagah, besar dan kuat. Meski penampilannya seperti itu, namun tetap, Zeus adalah pria yang romantis. Aku tidak pernah menemukan sosok yang begitu romantis seperti dirinya. Sudah banyak kejutan yang ia berikan kepadaku selama ini. Mulai dari saat dia berkenalan,  memberikan ku mawar di hari kasih sayang, dan hingga pada hari ini Zeus tetap setia dan romantis. Tidak hanya moment-moment penting yang diberi sedikit kejutan untukku. Di hari-hari biasa saja dia bisa memberikan sedikit sentilan yang menggetarkan hatiku. Gombalan-gombalan bijak yang membuat diriku terpesona dengan kehadirannya di sisiku. He is so romantic. I love him.


Kami sangat menyukai tempat ini untuk menghabiskan waktu kami berdua. Waktu berlari begitu cepat seperti angkutan umum di ibukota yang berlomba mencari penumpang. Waktu berlari tanpa menegur dan memberi tanda. Hanya angin yang peduli dengan kami. Kadang dia juga suka lupa membisikkan wejangan-wejangan ke arah kami jika tanda-tanda hari mulai malam. Pertanda yang Tuhan berikan kepada kami adalah saat matahari tenggelam. Hampir setiap hari kami menyaksikannya. Iya, setiap hari. Setiap pasangan mendambakan untuk mengisi hari-harinya. Ada yang mengisi waktunya dengan hubungan jarak jauh, dan mendambakan untuk bertemu. Aku bersyukur masih dapat berdekatan dengan Zeus, meskipun aku tahu cepat atau lambat dia akan pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikannya. Yang aku dambakan saat ini adalah untuk tetap bersama Zeus hingga suatu saat nanti. Jika aku harus berpisah, aku berjanji tidak akan mencari dirinya lagi. Mungkin penyesalan yang akan aku raih, karena semua itu kesalahanku. Zeus sangatlah sabar, aku hampir berpaling dari hatinya, bukan hanya sekali, hampir 2 kali, bahkan sudah. Namun aku yakin  jika kami sudah berakhir., dia dapat mencari yang jauh lebih baik. Walaupun kini aku sudah hampir menuju garis finish dan ternyata aku gagal, aku berjanji untuk tidak kembali lagi ke garis start awal karena aku sudah terlalu lama berlari dengannya.


“Virgo, aku mau nanya. Boleh?” pertanyaan dari Zeus tadi membuat perasaanku berkecamuk. “Mau nanya apa Ze?” sahutku lembut. “Jika suatu saat nanti kita berpisah, entah karena jarak, waktu atau semuanya. Kamu masih tetap sayang aku?” Tanya Zeus ragu kepadaku. Aku sedih mendengar pertanyaan ini dari sosok yang sangat aku cintai saat ini. Aku berusaha memudarkan wajah sedihku itu dengan kembali bertanya “Aku jawab yang serius apa yang bohong?” raut wajahku sedikit aku ceriakan agar wajahku tidak menceritakan perasaanku yang bercampur tadi. “Aku serius” Zeus tiba-tiba menoleh ke arahku tanpa ekspresi. Hampa. Pikiranku melayang entah ke negeri mana. Aku seolah-olah bukan lagi Virgo yang ia sayangi. Hatiku bertanya-tanya mengapa dia tega menanyakan hal ini terhadapku. Aku berdiri dari tempat dudukku itu dan kemudian mencoba berpaling darinya. Aku ingin menahan segalanya. Aku tidak ingin dia tahu bagaimana sakitnya pertanyaan itu bagiku. Aku ingin pulang. “Go, aku minta maaf” tangannya dengan kuat memegang tanganku, dan aku didekapnya. Hangat. Hanya kehangatan dan kenyamanan seperti inilah yang dapat aku rasakan selama ini aku bersamanya. Mungkin jika kami berpisah, aku tidak bisa merasakannya. Tangisku pecah di dadanya. Tidak terlalu besar isakanku karena begitu lapang dadanya hingga dapat meredam suaraku.


Senja itu di Sungai Rembrata, dapat kudengar pula jeritan riak anak sungai yang menemaniku untuk tetap merasakan kesenduan saat ini. Zeus tetap mendekap aku dan tak tahu kapan dia harus melepaskannya. Mungkin sampai aku memintanya, atau sampai kapan aku juga tidak tahu. Untuk saat ini aku menikmati dekapan hangatnya meski untuk yang terakhir. “Ini jadi rahasia kita aja yah Ze” isakku pelan. “Rahasia kita? Tidak bisa lah” jawab Zeus sambil tersenyum. “Mengapa tidak?” tanyaku lembut sambil mengusap air mata. “Sungai Rembrata jadi saksinya juga Go. Ini jadi rahasia kita bertiga. 1 atau 2 tahun lagi jika kamu kangen aku dan aku jadi kuliah di luar kota, kamu dateng ke tempat ini yah. Semua rahasia kita juga dipegang sama dia” jawab Zeus penuh arti, penuh makna, penuh kenangan, penuh rasa. Hatiku terhenyak harus merelakan dia pergi ke luar kota. “Aku tetap akan kesini setiap hari Ze. Entah itu kangen atau ngga, aku tetap ke sini” gumamku dalam hati. Bulan semakin berani menyapa, buku harianku dan Zeus bukan berada di lembaran kertas putih. Buku harianku dapat aku temukan di dalam setiap lekukan air di Sungai Rembrata.

Comments