“Pandangan pribadi terhadap hidup komunitas di Seminari menurut karakteristik hidup religius di abad-abad awal”

Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk sosial atau yang kita kenal dengan sebutan homo socius. Di lain sisi, manusia merupakan makhluk yang menjadi serigala bagi manusia yang lainnya atau yang kita kenal dengan sebutan homo homini lupus.
Hal ini nampak sebelum kita dijadikan atau terlihat dari masa awal proses pembuahan. Sel sperma yang diberikan oleh bapak kita berjumlah ratusan bahkan ribuan, disini kita sudah bisa mengenal sel sperma yang lainnya. Dalam hal ini saya menganggap kita sudah saling mengenal dan berinteraksi dengan calon makhluk hidup yang lainnya (homo socius). Bukan hanya sekedar mengenal, namun kita sama-sama berjuang untuk sampai ke sel telur. Dari awal kita sudah mengenal adanya persaingan yang bisa merugikan orang lain. Dalam dasar pribadi seperti itulah (homo socius dan homo homini lupus)  yang mengantarkan manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga muncullah istilah yang kita kenal dengan komunitas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunitas adalah kelompok organisme (orang dsb) yang hidup dan saling berinteraksi di daerah tertentu; masyarakat; paguyuban.
Arti komunitas bagi saya di dalam kehidupan seminari adalah suatu kondisi dimana adanya relasi persaudaraan yang kuat di antara satu sama yang lain yang saling terikat teguh pada aturan yang ada. Apakah kita semua dapat membayangkan apabila di dalam sebuah komunitas tidak ada aturan? Yang ada hanyalah sebuah ketidakteraturan dalam sebuah roda kehidupan.
Kehidupan komunitas di seminari mengimitasi karakteristik hidup religius pada abad-abad awal. Ketika itu awal komunitas terbentuk dan tidak lepas dengan adanya sebuah aturan main yang membuat hidup tiap pribadi menjadi lebih teratur atau lebih sistematik. Contoh konkretnya dapat dilihat dalam kehidupan komunitas di seminari. Sejak para seminaris bangun pagi sudah dimulai dengan aturan di mana para seminaris bangun pada waktu yang telah ditentukan. Tidak hanya bangun pagi, namun seluruh rangkaian aktivitas seminari sudah diatur sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah pola yang menciptakan sebuah kebiasaan baru yang mengatur hidup para seminaris. Selain jadwal yang padat, aturan-aturan lainnya seperti tidak diperkenankan membawa alat-alat elektronik, tidak diperkenankan keluar tanpa Hal seperti ini tak perlu disesali, namun hal ini perlu direfleksikan kembali oleh para seminaris, karena dengan adanya seluruh rangkaian acara ini, para seminaris hidup dengan teratur atau sistematik.
Terlepas dari aturan, ada pula janji-janji atau kaul yang diikrarkan seperti kaul ketaatan, kaul kemiskinan dan kaul kemurnian. Ketiga kaul ini diikrarkan ketika para seminaris masuk ke dalam jenjang frater, namun nilai-nilai seperti ketaatan, kemiskinan dan kemurnian sudah ditanamkan sejak masih menjadi seminaris.
Dalam hidup berkomunitas di seminari atau membiara, ketatan selalu dikonotasikan terhadap aturan dan terhadap pimpinan baik itu rektor, magister, ataupun uskup. Bagi saya, tidak hanya aturan dan pimpinan saja yang perlu ditaati, namun panggilan kita sebagai seorang seminaris perlu ditaati dalam hal taat dan tekun dalam menjalani panggilan. Pertama-tama dalam menanggapi panggilan Tuhan adalah sebuah pilihan untuk kita apakah kita ingin menanggapi atau tidak. Jika kita sudah memilih untuk menanggapi, seharusnya kita taat dalam pilihan kita tersebut karena hidup itu adalah sebuah pilihan bukan sebuah takdir.
Terbiasa dengan dunia profan membuat kaum muda zaman sekarang makin surut untuk menanggapi panggilan Tuhan. Dunia kaum muda yang sudah dipenuhi dengan teknologi canggih zaman sekarang merupakan salah satu faktornya. Para seminaris yang masih berjiwa muda pasti sering berkutat dengan alat-alat elektronik seperti itu, namun dalam kehidupan di seminari, hal-hal yang berhubungan seperti itu harus ditanggalkan terutama handphone, mp3, mp4 atau laptop sekalipun. Inilah salah satu pergejolakan yang sering dialami oleh seminaris zaman sekarang, sehingga ketika seminaris sampai di rumah, para seminaris (termasuk saya) berusaha balas dendam terhadap barang elektronik. Misalnya bermain game di komputer, sms dengan teman-teman lama yang jarang bertemu, dsb.
Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergillah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (bdk. Mat 19:21). Yesus sendirilah yang mengajak kita untuk menjual harta milik kita untuk mengikuti Dia secara radikal. Pribadi saya yang terus bertumbuh menjadi dewasa kini memiliki sebuah pemikiran mengapa kita para seminaris tidak bisa melakukan hal tersebut demi kemuliaan Allah? Manusia sangatlah canggih untuk menciptakan teknologi, namun apakah kita pernah mengingat siapa yang menciptakan manusia?
Sama halnya dengan lawan jenis. Ketertarikan dengan lawan jenis adalah suatu hal yang biasa, normal dan masih dalam tahap yang wajar. Akan menjadi sesuatu hubungan yang tidak wajar apabila hubungan itu sudah dilakukan secara berlebihan. Kaul kemurnian inilah yang bagi banyak orang sangat menyangkal kepribadian, di mana seseorang diwajibkan untuk tidak menikah dan tidak memiliki keturunan.
Apakah kita melawan perintah Allah? Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirnan kepad mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (bdk. Kej 1:28).
Sekali lagi ditekankan bahwa hidup itu adalah sebuah pilihan, pilihan itu bukanlah sebuah keterpaksaan ataupun sebuah percobaan. Semua pilihan itu baik adanya. Yang paling penting adalah bagaimana kita menjalani pilihan kita tersebut.
Tetapi kalau ada seorang, yang tidak dipaksa untuk berbuat demikian, benar-benar yakin dalam hatinya dan benar-benar menguasai kemauannya, telah mengambil keputusan untuk tidak kawin dengan gadisnya, ia berbuat baik. Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak kawin dengan gadisnya berbuat lebih baik. Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. Tetapi menurut pendapatku, ia lebih berbahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya. Dan aku berpendapat, bahwa aku juga mempunyai roh Allah. (bdk. 1 Kor 7:37-40).

Comments