Artikel ini Ditulis untuk Menanggapi Kasus Penyerangan di Yogyakarta
Titik permasalahan di sini adalah hati nurani, dan intoleransi. Persoalan tentang iman itu juga berasal dari sana.
Iman adalah bentuk penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penyerahan itu hanya terjadi jika seseorang hidup dengan hati nuraninya masing-masing. Sebab hati nurani seseorang selalu benar, baik, adil, dan tidak pernah jahat ataupun salah. Di dalam hati nurani, setiap insan bertemu dengan Tuhan. Baik ia sadar ataupun tidak. Hal ini berarti iman itu merupakan hal yang eksistensial dan fundamental bagi tiap persona. Namun pengertian ini tidak menutup peranan iman yang eksplisit (agama). Agama membantu hati nurani untuk menyadari hakekat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah yang penuh kasih.
Perbuatan kasih itulah yang harus disadari dan dilakukan oleh setiap umat manusia. Sehingga apa yang kita lakukan kepada orang lain, berarti kita melakukannya juga untuk Allah. Karena Allah adalah Sang Pencipta. Agar dapat melakukan perbuatan kasih, berarti kita harus membuka hati terhadap sesama tanpa melalui pertimbangan apapun. "Apa untungnya, ruginya, dsb buat saya?".
Immanuel Kant menyebutnya dengan "moralitas" yang artinya tindakan semata-mata tanpa ada imbalan, perhitungan, keterpaksaan dan lain sebagainya. Itulah yang kita maksud dengan kesadaran moral.
Hati nurani (suara hati) itulah yang nantinya akan mendorong kita untuk melakukan kesadaran moral (moralitas) tersebut. Karena suara hati adalah kesadaran moral yang bertemu dengan situasi yang nyata/konkret.
Dalam bukunya yang berjudul "The Meeting of Religions and the Trinitary", Gavin D'Costa pernah menyatakan bahwa "pluralisme" seperti itu sebenarnya bukan pluralisme, melainkan sebaliknya justru jatuh ke dalam eksklusivisme ekstem. Soalnya, plutalisme itu menuntut agar semua agama melepaskan keyakinan mereka yang paling inti. Pluralisme itu sama sekali tidak pluralis, melainkan tak lain merupakan relativisme keagamaan yang pada hakikatnya mengatakan bahwa semua agama hanya benar bagi para penganutnya, tetapi tidak secara universal. Sebagai implikasi wahyu dalam arti yang sebenarnya, sebagai sapaan Ilahi terhadap manusia di waktu dan tempat tertentu, mungkin menjadi tidak mungkin. Akhirnya agama-agama tak lain hanyalah ungkapan religiositas manusia. Bukan suatu ajaran yang diterapkan, diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa makna dialog antarumat beragama? Berbicara mengenai agama berarti kita berbicara pula mengenai berbagai macam hal. Sosiologi, psikologi, politisi, bahkan ideologi. Tetapi yang kita kehendaki di sini bukan itu semua. Yang kita hendaki adalah agar kita (agamawan) yakin, orang-orang yang masing-masing amat berakar dalam agamanya masing-masing dapat saling memahami, menerima, menghormati dan menghargai.
Ada 4 tipe dialog antarumat beragama, yaitu dialog kehidupan, dialog karya, dialog pandangan teologis, dialog pengalaman keagamaan.
Dialog kehidupan adalah dialog yang diperankan oleh seluruh insan ketika dia lahir di dunia dengan variasi jenis manusia yang lain. Di sana pribadi itu berkomunikasi, berinteraksi satu dengan yang lain. Hingga pada suatu titik tertentu akan ditemukan berbagai macam perbedaan satu sama yang lain. Salah satunya adalah perbedaan agama. Anak kecil dengan rasa ingin tahu yang tinggi, pasti akan berusaha mencari tahu bagaimana cara teman sebangkunya beribadat di dalam Gereja, Mesjid, Pura, dan sebagainya. Dari sinilah kemudian mulai muncul adanya pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan oleh mereka. Mungkin mereka hanya berceloteh saja, namun itulah faktanya. Itulah dialog antarumat beragama. Sayangnya, dialog kehidupan memang sangat mendasar dalam hidup manusia. Namun terkadang dialog kehidupan tidak pernah menyentuh perspektif iman kedua belah pihak.
Dialog karya adalah dialog yang dilakukan oleh lembaga, kelompok ataupun bentuk organisasi lainnya yang melihat bahwa permasalahan di dunia merupakan permasalahan agama-agama juga. Misalnya permasalahan kemiskinan, perang, dan sebagainya. Oleh karena itu, pihak antarumat beragama membuat sebuah lembaga, kelompok, institiusi untuk bekerjasama membantu mereka yang berkesusahan. Biasanya, dialog karya ini dilakukan dalam taraf Internasional. Namun, kita dapat melakukannya dari tingkat yang paling rendah. Misalnya tingkat RT, RW, Kelurahan, dan sebagainya.
Dialog pandangan teologis adalah dialog yang dilakukan oleh para petinggi-petinggi agama. Biasanya dilakukan oleh para pemuka agama-agama. Dialog ini memerlukan pemikiran yang kritis dan tentu saja hati yang terbuka. Belum tentu pemikiran antara agama A dan B sama. Pasti ada yang berbeda dan itulah perbedaan. Bukan untuk disamakan. Melainkan untuk dihargai, dipelihara dan dijaga ketentramannya.
Dan yang terakhir adalah dialog pengalaman keagamaan. Dialog ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Karena dialog ini merupakan dialog yang bertukar pikiran mengenai doa, meditasi, dan ibadat-ibadat yang dilakukan oleh antarumat beragama. Kedua belah pihak dapat bertukar pengalaman doa, meditasi, dan sebagainya. Barangkali orang Kristen mengikuti orang Muslim yang berpuasa, dan orang Muslim mengikuti orang Kristen atau Buddha untuk bermeditasi, dan lain sebagainya.
Menurut buku yang pernah penulis baca "Agama dengan dua wajah", yang ditulis oleh Dr. Samosir L., OSC, tujuan berdialog antarumat beragama ada dua. Pertama komunikasi dan saling menghargai. Hal yang kedua adalah Melihat adanya kemungkinan untuk bekerjasama.
Tentunya hal ini indah apabila terlaksana.
Pluralitas agama adalah suatu hal yang nyata, dan merupakan suatu realitas yang tidak dapat terbantahkan. Pluralitas ini adalah warna dalam tatanan kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya di tengah masyarakat, manusia beragama akan memegang teguh ajaran agama mereka masing-masing. Agar dapat memegang teguh ajarannya dengan baik, maka umat beragama akan mempertahankan nilai-nilai dan ajaran agamanya tersebut. Tidak dapat dipungkiri, bahwa cara untuk tetap mempertahankan dasariah agamanya adalah suatu hal yang sulit. Bukti yang paling mudah ditemukan adalah egosentris atau menganggap ras, suku atau agamanya adalah yang paling benar. Sifat ini membuka peluang untuk menimbulkan konflik antarumat beragama. Padahal, agama adalah urusan iman pribadi dan rumusan komunitasnya. Sehingga tidak dapat disamakan dengan agama-agama yang lain.
Hal yang terpenting dalam dialog adalh menghilangkan sifat egosentrisme, mementingkan diri sendiri, kelompok. Kerajaan Allah dapat diwujudkan di dunia melalui kerjasama antarumat beragama.
Lantas bagaimana dengan umat yang tidak beragama?
Kembali lagi kepada hati nurani yang merupakan tuntunan dari Tuhan. Memegang kebenaran bahwa Tuhan itu tidak ada dan yang terpenting adalah melaksanakan tindakan yang baik.
Ingat, tindakan yang baik berasal dari hati nurani. Hati nurani merupakan tuntunan dari Yang Mutlak untuk melakukan sesuatu agar tetap baik, ideal, adil, dan tidak berbuat jahat. Namun hati nurani membutuhkan nalar untuk menilai suatu situasi, kondisi. Hati nurani tidak dapat salah namun nalar dapat keliru. Namun ada yang tidak dapat keliuru yaitu kesadaran di hati nurani bahwa saya selalu HARUS memilih yang baik, jujur, adil, benar, dan sebagainya. Tarikan hati nurani ke yang baik tidak membenarkan kekcualian sama sekali. Dengan kata lain, hati nurani menyuarakan tuntutan mutlak untuk selalu memilih yang baik dan menolak yang buruk. Jadi Iman dan hati nurani berbanding lurus.
Jika kita beriman, kita harus mendengarkan hati nurani, berpikir dengan nalar dengan baik dan lakukan interaksi, komunikasi, dan kerjasama dengan mereka yang berbeda.
Pluralitas bukanlah suatu kondisi yang harus dielakkan, melainkan kondisi yang harus tetap dipertahankan. Dipertahankan dengan seusaha kita sebagai bangsa Indonesia dan beragama. Apa yang dapat kita lakukan? Berperilakulah sebagaimana yang tertuang dalam kelima butir pancasila dan seperti yang tertulis dalam Kitab Suci anda masing-masing.
Sumber referensi disadur dari beberapa buku dan karya tulis penulis yang telah disahkan oleh para pembimbing. Guna penulis menulis karya tulis adalah untuk mendapatkan ijazah (testamentum) dari Seminari Menengah Stella Maris, Bogor.
Adrian Winarso, Yohanes,
2014, Dialog Antarumat Beragama : Sebuah Sarana Evangelisasi, Bogor
Borromans, P.M.,
2007, Pedoman Dialog Kristen-Muslim : Sekretariat untuk Non Kristen, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta
Magnis Suseno, Franz, SJ,
2014, Iman dan Hati Nurani : Gereja Berhadapan dengan Tantangan-Tantangan Zaman, OBOR, Jakarta
Samosir, L., Dr., OSC,
2010, Agama dengan Dua Wajah : Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, OBOR, Jakarta
Comments
Post a Comment